Kamis, 07 Desember 2017

When They Call Me “Bocah Labil” | Ketika Mereka Panggil Aku Si Bocah Labil

When They Call Me “Bocah Labil”

     Baru-baru saja aku dikatain ‘bocah labil’ oleh segelintir pemuda yang bisa dibilang sudah tua tapi bukan orang tua karena mereka belum pada nikah.

     Sontak aku kaget, kok bisa ya. Padahal aku enggak begitu kenal mereka, ngomongin, apalagi ngurusin mana pernah, enggak penting menurutku. Waktuku terlalu berharga jika dihabiskan untuk ngomongin orang yang enggak aku kenal, apalagi enggak ada kepentingannya sama hidupku. Tapi tiba-tiba aja aku di-judge gitu sama mereka yang sudah tua, hehe. Enggak kaget sih, soalnya, tua enggak menandakan kedewasaan.

     Karena ini cerita yang menurutku menarik, aku jadi pengin jelasin kenapa harus ceritain ini diblog. 

     Pertama, aku kaget kenapa ada orang kurang kerjaan sampai sebegitunya, ya? Ngomongin aku yang enggak kenal sama mereka sampai se-detail itu. Siapalah aku ini, artis bukan, ngehit juga enggak, dan jauh dari kata populer. Jadi, wajar aja dong kalau aku kaget? Sebenarnya aku tahu mereka, tapi karena hidupku penuh prinsip, aku memutuskan untuk enggak mau too close sama yang kayak gitu. Kecuali mereka bawa dampak baik, baru aku mau akrab. Enggak sombong, tapi itu namanya prinsip. Pasti sudah pada bisa kan, bedain mana sombong dan mana prinsip.

     Kedua, aku bagi info lagi, hidupku penuh prinsip. Sedikit cerita, aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Punya satu kakak perempuan, dan satu adik laki-laki. Aku keras kepala dari kecil, susah dikasih tahu, karena aku terlalu berpegang teguh sama apa yang sudah aku yakini. Sekali A, tetap A. Kalau penginnya B, harus B. Aku juga pemikir keras, segala sesuatunya harus aku pikirkan dan aku urutkan agar segala sesuatunya berjalan dengan baik. Sistematis. Krn kalau berantakan aku suka pusing. Aku sensitif soalnya. Tapi meskipun sensitif, aku enggak terlalu nunjukin. Misal, ada orang yang bikin aku tersinggung, ya aku biasa aja. Enggak mau terlalu nunjukin rasa marah ke orang itu, karena menurutku itu enggak begitu penting untuk diketahui orang lain. Ya bisa dibilang, aku pendendam sejati. Bukan berarti aku baik di depan, jelek-jelekin di belakang. Kalau aku enggak suka, aku bakal diam. Memilih untuk pergi, daripada bertahan untuk berkutat dalam sesuatu yang tidak aku sukai. Kalau enggak percaya, cobain aja. Bisa ketahuan kok, kalau aku enggak pernah natap mata, cenderung diam, dan sedikit respon, itu tandanya aku enggak suka. Diam itu bahaya, menurutku. Banyak sekali hal yang sudah aku tinggalkan karena tidak kusukai, padahal disukai oleh banyak orang. 

     Ketiga, aku enggak takut untuk ngelakuin itu, karena itu prinsip hidupku. Enggak masalah orang mau ngelakuin itu juga sama aku, toh yang penting enggak menyakiti, kan? Aku hanya enggak mau melakukan dan mendekati apa yang enggak disukai. Karena itu pahit. Haha. 

     Keempat, aku berpikir keras saat tahu mereka suka ngomongin aku dengan predikat ‘si bocah labil’. Kenapa ya? Apa aku punya salah? Aku bakal berhenti heran, kalau aku tahu penyebabnya. Aku juga enggak akan bertanya-tanya lagi, kalau memang aku punya salah sebelumnya. 

     Ini beberapa kisah yang membuktikan aku keras kepala. Fyi, biasanya orang keras kepala itu labilnya jarang. Karena sangat kukuh sama pendapatnya pribadi. No matter orang lain mau ngomong apa. 

     Kisah pertama, sejak lulus SMP aku memutuskan untuk hijrah ke Samarinda, tinggal sendirian, hidup ngekost, dan jauh dari orang tua, menghabiskan waktu tiga tahun (SMA) sendirian. Orang-orang pada nanya, like, “hah? Kok berani sih? Kenapa enggak asrama aja? Kok dibolehin orang tua sih? Gimana rasanya?” Dan bla bla bla. Tapi aku jawab santai aja, ya karena ini MAUKU. As simple as that.

     Kisah kedua, aku berani ikut ini itu sendirian tanpa teman. Banyak organisasi yang aku ikuti tanpa teman. Karena menurutku, susah banget ngajak orang untuk mengikuti kemauanku yang rada aneh dan beda ini. So, enggak ada jalan selain bergerak sendiri demi mewujudkan keinginan. Sekali lagi, karena ini MAUKU.

     Kisah ketiga, aku sangat berani ambil keputusan yang enggak disangka-sangka sama orang lain. Contohnya, baru-baru saja aku resign dari kantor pers terbesar di Kalimantan Timur. Aku resign dari profesiku sebagai Reporter. Padahal ini adalah kesempatan emas untuk mewujudkan cita-citaku sedari SMP untuk menjadi seorang wartawan kriminal. Tapi aku memutuskan untuk resign. Kenapa? Ya karena ada beberapa alasan yang sudah aku pikirkan dari jauh-jauh hari. Bukan keputusan sesaat gitu aja. Semua sudah terpikirkan in syaa Allaah secara matang. Karena ini MAUKU.

     Kisah keempat, aku berani ambil resiko besar dalam hidup. Contoh real-nya, berani kerja di tempat yang jauh dari tempat tinggalku. Dulu, jarak kantor dan kontrakanku kurang lebih 15km, sering pulang larut malam (padahal jalanan sepi banget), dan itu tiap hari kulalui dengan sepeda motor, tanpa SIM. Padahal aku sudah tahu kalau itu sangat berbahaya, apalagi aku perempuan. Sekarang, aku bekerja (mengajar) dengan jarak yang jauhnya kurang lebih 13km dari kostku. Padahal kalau dipikir-pikir, ngapain sih, kerja? Jauh banget pula. Kan masih kuliah? Masih ada orang tua juga yang biayain. Ngapain repot? Ya, jawabannya pasti udah tahu dong ya, karena ini MAUKU. 

     Dari keempat poin di atas, mungkin bisa menyimpulkan sendiri kan, kenapa aku heran ketika dijuluki si bocah labil? They judge me without knowing anything

     Mereka enggak kenal aku siapa, enggak tahu gimana aku yang sebenarnya, tapi langsung main hakim sendiri, menyimpulkan seenak jidat. 

     Ya begitulah manusia. Bisanya cuma nge-judge, giliran di-judge balik pasti sarik jua ai. Dasarr jua si julak ni. Lakasi dah nikah sana. Biar ada yang diurusi, jangan cuma ngurusi bocah labil kaya aku ni wara. Mun kadada gawian tu jakanya jangan tapi diliatkan jua. Bari maras aja! Hahahahaha.

     Mungkin aku memang belum setua kalian-kalian. Tapi maaf, if I were you, aku malu dikatakan tua dengan predikat si-tukang ngomongin bocah. Oh iya maaf lagi, aku memang masih muda dan mungkin pemikiranku agak susah diterima oleh kalian. Menurutku, si dewasa harusnya bisa mengerti watak orang berbeda-beda. Buktikan dong kalau udah dewasa, dengan cara mengerti tentang manusia. Bukan menggurui ya. Tapi, yuk, kita sama-sama malu, kalau punya status tua, tanpa dibersamai oleh kedewasaan.

     Semoga kita bisa menjadi orang yang sibuk memperbaiki diri tanpa letih, dan dijauhkan dari sifat terlalu sibuk ngurusin orang lain sampai lupa ngurusin diri sendiri. Aamiin yaa Rabb.

     Enggak ada maksud singgungan dalam tulisan ini. Semua ditulis dalam rangka sharing tentang cerita yang menurutku menarik untuk dibahas. Aku juga menulis ini sambil terus berkaca pada diri sendiri, bukan berarti nulis ini tanda sudah dewasa, tidak. Aku menjadikan hal ini pelajaran berharga, agar bisa lebih baik kedepannya dan menjauhi kesalahan yang sudah aku ketahui dampaknya.